Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah obat yang diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya, makin banyak jenis obat yang diresepkan pada individu-individu usia lanjut, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya efek samping. Secara epidemiologis, 1 dari 10 orang (10%) akan mengalami efek samping setelah pemberian 1 jenis obat. Resiko ini meningkat mencapai 100% jika jumlah obat yang diberikan mencapai 10 jenis atau lebih. Secara umum angka kejadian efek samping obat pada usia lanjut mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa. Obat-obat yang sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut antara lain analgetika, antihipertensi, antiparkinsion, antipsikotik, sedatif dan obat-obat gastrointestinal. Sedangkan efek samping yang paling banyak dialami antara lain hipotensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin, dan konstipasi.
Tingginya
angka kejadian efek samping obat ini nampaknya berkaitan erat dengan kesalahan
peresepan oleh dokter maupun kesalahan pemakaian oleh pasien.
a. Kesalahan
peresepan
Kesalahan
peresepan sering kali terjadi akibat dokter kurang memahami adanya perubahan
farmakokinetika/farmakodinamika karena usia lanjut. Sebagai contoh adalah
simetidin yang acap kali diberikan pada kelompok usia ini, ternyata memberi
dampak efek samping yang cukup sering (misalnya halusinasi dan reaksi
psikotik), jika diberikan sebagai obat tunggal. Obat ini juga menghambat metabolisme
berbagai obat seperti warfarin, fenitoin dan beta blocker. Sehingga pada
pemberian bersama simetidin tanpa lebih dulu melakukan penetapan dosis yang
sesuai, akan menimbulkan efek toksik yang kadang fatal karena meningkatnya
kadar obat dalam darah secara mendadak.
b. Kesalahan
pasien
Secara
konsisten, kelompok usia lanjut banyak mengkonsumsi obat-obat yang dijual
bebas/tanpa resep (OTC). Pemakaian obat-obat OTC pada penderita usia lanjut
bukannya tidak memberi resiko, mengingat kandungan zat-zat aktif dalam satu
obat OTC kadang-kadang belum jelas efek farmakologiknya atau malah bersifat
membahayakan. Sebagai contoh adalah beberapa antihistamin yang mempunyai efek
sedasi, yang jika diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif akan
memberi efek samping yang serius. Demikian pula obat-obat dengan kandungan zat
yang mempunyai aksi antimuskarinik akan menyebabkan retensi urin (pada
penderita laki-laki) atau glaukoma, yang penanganannya akan jauh lebih sulit
dibanding penyakitnya semula.
c. Ketidak-jelasan
informasi pengobatan
Pasien-pasien
usia lanjut sering pula menjadi korban dari tidak jelasnya informasi pengobatan
dan beragamnya obat yang diberikan oleh dokter. Keadaan ini banyak dialami oleh
penderita-penderita penyakit yang bersifat hilang timbul (sering kambuh).
Kesalahan umumnya berupa salah minum obat (karena banyaknya jenis obat yang
diresepkan pada suatu saat), atau berupa ketidaksesuaian dosis dan cara
pemakaian seperti yang dianjurkan. Kelompok usia ini tidak jarang pula
memanfaatkan obat-obat yang kadaluwarsa secara tidak sengaja, karena
ketidaktahuan ataupun ketidakjelasan informasi.
Dengan
demikan, pemakaian obat secara bijaksana pada penderita-penderita usia lanjut
akan membantu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Namun demikian,
hal-hal yang perlu dicatat dalam segi ketaatan pasien antara lain, Meskipun
secara umum populasi usia lanjut kurang dari 15%, tetapi peresepan pada usia
ini relatif tinggi, yaitu mencapai 25%-30% dari seluruh peresepan.
d. Pasien
sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara, frekuensi dan berapa lama
obat harus diminum untuk memperoleh efek terapetik yang optimal. Untuk
antibiotika, misalnya pasien sering menganggap bahwa hilangnya simptom memberi
tanda untuk menghentikan pemakaian obat.
e. Pada
penderita yang tremor, mengalami gangguan visual atau menderita artritis,
jangan diberi obat cairan yang harus ditakar dengan sendok.
f. Untuk
pasien usia lanjut dengan katarak atau gangguan visual karena degenerasi
makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar mudah dibaca.
OBAT-OBAT YANG SERING DIRESEPKAN PADA USIA LANJUT DAN PERTIMBANGAN PEMAKAIAN
1. OBAT-OBAT SISTEM SARAF PUSAT
Sedativa-hipnotika
Mengingat
sering diresepkannya obat-obat golongan sedativa-hipnotika pada pasien usia
lanjut, maka efek samping obat golongan ini yang diketahui maupun tidak
diketahui oleh pasien relatif lebih sering terjadi. Pasien merasa tidak enak
badan setelah bangun tidur (dapat terjadi sepanjang hari), sempoyongan,
gelisah, kekakuan dalam bicara dan kebingungan beberapa waktu sesudah minum
obat. Sebagai contoh, waktu paruh beberapa obat golongan benzodiazepin dan
barbiturat meningkat sampai 1,5 kali. Namun lorazepam dan oksazepam mungkin
kurang begitu terpengaruh oleh perubahan ini. Efek samping yang perlu diamati
pada penggunaan obat sedativa-hipnotika antara lain adalah ataksia. Diazepam
tablet, nitrazepam, flurazepam menyebabkan depresi susunan syaraf meningkat. Fungsi
tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam litium, yang
secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali
glomerolus dan tubulus.
Anastetik
Antidepresan
trisiklik
·
amitriptyline,
amoxapine, imipramine, lofepramine, iprindole, protriptyline, dan trimipramine
menyebabkan dapat menimbulkan hipotensi ortostatik.
Obat
saraf skizoprenia
·
fenotiazin ( mis : Klorpromazin)
menyebabkan Hipotensi postural, hipotermia
Relaksan otot polos, anti spasmodic
·
Atropin sulfat tablet menyebabkan efek
samping yang terjadi kadang-kadang kebingungan (biasanya pada usia lanjut)
Analgetika
Dengan
menurunnya fungsi respirasi karena bertambahnya umur, maka kepekaan terhadap
efek respirasi obat-obat golongan opioid (analgetika-narkotik) juga meningkat.
Jika tidak sangat terpaksa dan indikasi pemakaian tidak terpenuhi, maka
pemberian analgetika-narkotik pada usia lanjutnya hendaknya dihindari
Antidepresansia:
Obat-obat
golongan antidepresan trisiklik yang cukup banyak diresepkan ternyata sering
menimbulkan efek samping pada usia lanjut, yang antara lain berupa mulut
kering, retensi urin, konstipasi, hipotensi postural, kekaburan pandangan,
kebingungan, dan aritmia jantung. Jika terpaksa diberikan, maka sebaiknya
dimulai dari dosis terendah, misalnya imipramin 10 mg pada malam hari. Selain
itu diperlukan pula pemantauan yang terus menerus untuk mencegah kemungkinan
efek samping tersebut.
Analgesik golongan narkotika
·
Petidin dapat memproduksi metabolit
aktif, sehingga obat
ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.
Analgesik
antipretik
·
Aspirin
menambah intensitas perdarahan
·
waspadai penggunaan tramadol tablet pada
lansia
Analgesik antipiretik antiinflamasi :
·
Waspadai penggunaan asam mefenamat pada
lansia
·
Ibuprofen (lansia memerlukan dosis yang
lebih rendah karena metabolisme tubuh mereka tidak lagi bekerja cepat sehingga
mereka cenderung mempertahankan obat penghilang rasa sakit lebih lama dalam
tubuh)
2. OBAT-OBAT KARDIOVASKULER
Antihipertensi
Pengobatan hipertensi pada usia lanjut
sering menjadi masalah, tidak saja dalam hal pemilihan obat, penentuan dosis
dan lamanya pemberian, tetapi juga menyangkut keterlibatan pasien secara terus
menerus dalam proses terapi. Hal ini karena pengobatannya umumnya jangka
panjang. Jika terapi non-obat dirasa masih memungkinkan, pembatasan masukan
garam, latihan (exercise), dan penurunan berat badan, serta pencegahan terhadap
faktor-faktor risiko hipertensi (misalnya merokok dan hiperkholesterolemia)
perlu dianjurkan bagi pasien dengan hipertensi ringan. Namun jika yang dipilih
adalah alternatif pengobatan, maka hendaknya dipertimbangkan pula hal-hal
berikut:
•
penyakit lain yang diderita (associated illness)
•
obat-obat yang diberikan bersamaan (concurrent therapy)
•
biaya obat (medication cost), dan
•
ketaatan pasien (patient compliance).
Pada
usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan
ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol. Antihipertensi (penghambat
adrenergic) menyebabkan Sinkope akibat hipotensi postural, insufisiensi
koroner. Diuretik tiazid, furosemid
menyebabkan Hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia,
hiperurikemia. Pilihan pertama yang dianjurkan adalah diuretika
dengan dosis yang sekecil mungkin. Efek samping hipokalemia dapat diatasi
dengan pemberian suplemen kalium atau pemberian diuretika potassium-sparing
seperti triamteren dan amilorida. Kemungkinan terjadinya hipotensi postural dan
dehidrasi hendaknya selalu diamati. Jika diuretika ternyata kurang efektif,
pilihan selanjutnya adalah obat-obat antagonis beta-adrenoseptor (=beta
bloker).
Untuk
penderita angina atau aritmia, beta blocker cukup bermanfaat sebagai obat
tunggal, tetapi jangan diberikan pada pasien dengan kegagalan ginjal kongestif,
bronkhospasmus, dan penyakit vaskuler perifer. Pengobatan dengan
beta-1-selektif yang mempunyai waktu paruh pendek seperti metoprolol 50 mg 1-2x
sehari juga cukup efektif bagi pasien yang tidak mempunyai kontraindikasi
terhadap pemakaian beta-blocker. Dosis awal dan rumat hendaknya ditetapkan
secara hati-hati atas dasar respons pasien secara individual.
Vasodilator
perifer seperti prazosin, hidralazin, verapamil dan nifedipin juga ditoleransi
dengan baik pada usia lanjut, meskipun pengamatan yang seksama terhadap
kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik perlu dilakukan. Meskipun beberapa
peneliti akhir-akhir ini menganjurkan kalsium antagonis, seperti verapamil dan
diltiazem untuk usia lanjut sebagai obat lini pertama. Tetapi mengingat
harganya relatif mahal dengan frekuensi pemberian yang lebih sering, maka
dikhawatirkan akan menurunkan ketaatan pasien. Prazosin, suatu α1 adrenergic blocker, dapat
menimbulkan hipotensi ortostatik.
Obat-obat antiaritmia
Pengobatan
antiaritmia pada usia lanjut akhir-akhir ini semakin sering dilakukan mengingat
makin tingginya angka kejadian penyakit jantung koroner pada kelompok ini.
Namun demikian obat-obat seperti disopiramida sangat tidak dianjurkan,
mengingat efek antikholinergiknya yang antara lain berupa takhikardi, mulut
kering, retensi urin, konstipasi, dan kebingungan. Pemberian kuinidin dan
prokainamid hendaknya mempertimbangkan dosis dan frekuensi pemberian, karena
terjadinya penurunan klirens dan pemanjangan waktu paruh.
Glikosida jantung
Digoksin
merupakan obat yang diberikan pada penderita usia lanjut dengan kegagalan
jantung atau aritmia jantung. Intoksikasi digoksin tidak jarang dijumpai pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal, khususnya jika kepadapasien yang
bersangkutan juga diberi diuretika. Gejala intoksikasi digoksin sangat beragam
mulai anoreksia, kekaburan penglihatan, dan psikosis hingga gangguan irama
jantung yang serius. Meskipun digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas jantung
dan memberi efek inotropik yang menguntungkan, tetapi kemanfaatannya untuk
kegagalan jantung kronis tanpa disertai fibrilasi atrial masih diragukan. Oleh
sebab itu, mengingat kemungkinan kecilnya manfaat klinik untuk usia lanjut dan
efek samping digoksin sangat sering terjadi, maka pilihan alternatif terapi
lainnya perlu dipetimbangkan lebih dahulu. Diuretika dan vasodilator perifer
sebetulnya cukup efektif sebagian besar penderita.
3. ANTIBIOTIKA
Prinsip-prinsip
dasar pemakaian antibiotika pada usia lanjut tidak berbeda dengan kelompok usia
lainnya. Yang perlu diwaspadai adalah pemakaian antibiotika golongan
aminoglikosida dan laktam, yang ekskresi utamanya melalui ginjal. Penurunan
fungsi ginjal karena usia lanjut akan mempengaruhi eliminasi antibiotika
tersebut, di mana waktu paruh obat menjadi lebih panjang (waktu paruh
gentasimin, kanamisin, dan netilmisin dapat meningkat sampai dua kali lipat)
dan memberi efek toksik pada ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain (misalnya
ototoksisitas).
·
Kotrimoksazol dewasa tablet menyebabkan
pasien berpotensi tinggi untuk kekurangan folat(lanjut usia).
·
Streptomisin menyebabkan ototoksisitas.
·
Fungsi
tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin yang
secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali
glomerolus dan tubulus.
4. OBAT-OBAT ANTIINFLAMASI
Obat-obat golongan antiinflamasi relatif lebih
banyak diresepkan pada usia lanjut, terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi
(osteoaritris). Berbagai studi menunjukkan bahwa obat-obat antiinflamasi
non-steroid (AINS), seperti misalnya indometasin dan fenilbutazon, akan
mengalami perpanjangan waktu paruh jika diberikan pada usia lanjut, karena
menurunnya kemampuan metabolisme hepatal. Karena meningkatnya kemungkinan
terjadinya efek samping gastrointestinal seperti nausea, diare, nyeri abdominal
dan perdarahan lambung (20% pemakai AINS usia lanjut mengalami efek samping
tersebut), maka pemakaian obat-obat golongan ini hendaknya dengan pertimbangan
yang seksama. Efek samping dapat dicegah misalnya dengan memberikan antasida
secara bersamaan, tetapi perlu diingatbahwa antasida justru dapat mengurangi
kemampuan absorpsi AINS. Anti inflamasi non steroid juga perlu diwaspadai
penggunaannnya pada lanjut usia adalah Meloxicam, Natrium diklofenak, Piroxicam.
5. LAKSANSIA
Pada
usia lanjut umumnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal, yang
biasanya dikeluhkan dalam bentuk konstipasi. Pemberian obat-obat laksansia
jangka panjang sangat tidak dianjurkan, karena di samping menimbulkan habituasi
juga akan memperlemah motilitas usus. Pemberian obat-obat ini hendaknya
disertai anjuran agar melakukan diet tinggi serat dan meningkatkan masukan
cairan serta jika mungkin dengan latihan fisik (olah raga).
6. ANTIVIRAL AGENT
·
Waspadai penggunaan acyclovir tablet
pada lansia
7.OBAT ASAM URAT/ ANTIPIRAI
·
Allupurinol tablet (perhatikan
penyesuaian dosis akibat penurunan fugsi hati, ginjal & jantung)
8.ANTI HISTAMINE
·
Waspadai penggunaan cetrizine pada
lansia
·
Ctm menimbulkan efek yang sangat nyata
terhadap susunan saraf pusat
9.ANTI ULCER AGENT :
·
Cimetidine tablet (Pasien lansia (>
50 tahun) merupakan faktor risiko untuk berkembangnya kondisi bingung
(confusional) yang berulang / reversible)
10.ANTI KONVULSAN :
·
Fenobarbital tablet (Pasien usia lanjut
seringkali mengalami excitement, bingung atau depresi)
·
Waspadai penggunaan fenotain pada lansia
11.ANTI KOAGULAN
·
Warfarin menyebabkan pendarahan
12.ANTI DIARE
·
Loperamida menyebabkan tidak kentut
13.OBAT TB
·
Isoniazid menyebabkan hepatotoksisitas
14.ANTI PARKINSON
·
Triheksifenidil menyebabkan kebingungan
mental, halusinasi, konstipasi, retensi urin
15.ANTI DIABETIC
·
Klorpropamid menyebabkan hipoglikemia
·
Glibenklamid menyebabkan hipoglikemia
16.KORTIKOSTEROID
·
Prednisone menyebabkan kejenuhan metabolisme oleh hati
17.GLUKORTIKOID
·
Methylprednisolon menyebabkan kejenuhan metabolisme oleh hati
Secara singkat, pemakaian/pemberian obat pada
usia lanjut hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a.
Riwayat pemakaian obat
• informasi
mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu ditanyakan, mengingat sebelum datang
ke dokter umumnya penderita sudah melakukan upaya pengobatan sendiri.
• informasi
ini diperlukan juga untuk mengetahui apakah keluhan/penyakitnya ada kaitan
dengan pemakaian obat (efek samping), serta ada kaitannya dengan pemakaian obat
yang memberi interaksi.
b.
Obat diberikan atas indikasi yang ketat,
untuk diagnosis yang dibuat. Sebagai contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan
simetidin pada kecurigaan diagnosis ke arah dispepsia.
c.
Mulai dengan dosis terkecil. Penyesuaian
dosis secara individual perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan
intoksikasi, karena penanganan terhadap akibat intoksikasi obat akan jauh lebih
sulit.
d.
Hanya resepkan obat yang sekiranya
menjamin ketaatan pasien, memberi resiko yang terkecil, dan sejauh mungkin
jangan diberikan lebih dari 2 jenis obat. Jika terpaksa memberikan lebih dari 1
macam obat, pertimbangkan cara pemberian yang bisa dilakukan pada saat yang
bersamaan.
Gunawan.
2007. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Fakultas Kedokteran. UI.
http://www.farklin.com/images/multirow3f1e14b76904c.pdf
http://www.indonesiacorder.forumotion.com
http://www.scribd.com/doc/40517569/FARMAKO-UNTUK-LANSIA